Sunday 3 April 2011

* Tanggapan terhadap Keluhan Alan Greenspan *

Oleh : Edmond F. La’lang (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)

”Kita tidak akan pernah menemukan model yang sempura untuk menganalisis risiko. Kita takkan pernah mampu mengantisipasi ketidaksinambungan dalam pasar finansil”
        Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar, karena ekonom hanya memakai teori ekonomi yang bersifat linier dengan data statistik dan perhitungan matematis ekonometrik linier (berdimensi 1) pada bidang makro ekonomi dan moneter yang bersifat statis. Hal ini tentu ilmu ekonomi tak akan pernah tahu dengan prediksi akurat dan tepat terhadap gejolak psikologis, kepanikan, ketakutan, egoisme, keserakahan, cita-cita, nilai harapan, hasrat, needs & wants, sikap mental, visi dan bioritmik alamiah pada suatu bidang ruang (X Y Z) yang berdimensi 2 – 4 yang memang tak dapat diukur secara kuantitatif oleh ekonometrik
         Disamping itu adanya ”Invisible Hand” dari alam supernatural dan natural men-yebabkan terjadinya suatu interaksi antara manusia, alam natural dan supernatural yang dinamis dan selalu bergerak non linier dan fluktuatif pada setiap aktivitas manusia, termasuk ekonomi dan bisnis. Memang sifat manusia untuk selalu mau maju, menang, berkembang (growth) dan berhasil yang ditunjukkan oleh grafik garis lurus (linier) dan jika mulai menurun dan fluktuatif maka manusia akan memakai berbagai cara untuk meluruskannya agar naik lebih tinggi lagi. Tetapi ada batas kemampuan diri manusia untuk naik pada satu sesi pendakian, dimana gunung juga hanya mempunyai ketinggian tertentu dan tak mungkin naik terus menuju ke langit. Proses fluktuatif ini, yang jika naik akan dinyatakan sebagai hal positif, keuntungan, keberhasilan dan prestasi, tetapi jika menurun akan dinyatakan sebagai negatif, kerugian, kegagalan dan wanprestasi dan akrab disebut sebagai ”risiko”.
          Padahal positif dan negatif, untung dan rugi, menang dan kalah, prestasi dan wanprestasi adalah warna dan inti dari kehidupan itu sendiri yang tak dapat dihilangkan, tetapi dapat dihindari jika kita mengenal dengan baik alunan bioritmik aktivitas manusia di dunia. Menurut hukum alam ”The Law of Deminishing Return” bahwa jika kita makin naik tinggi dengan sudut kemiringan terjal dan kecepatan lebih besar, maka kita juga akan menghadapi risiko kejatuhan dengan kecepatan yang jauh lebih cepat (free fall) dengan akibat yang lebih parah dibanding keuntungan yang kita dapat sejak saat mendaki. Mirip kasus bursa saham, bursa komoditi, derivatif dan valas atau istilahnya ”High Return High Risk”. Anehnya manusia hanya senangnya mau naik terus, menang terus dan ber- hasil terus tanpa pernah mau tahu penurunan, kekalahan dan kegagalan yang akan selalu dianggap sebagai ”risiko”, sehingga hukum alam gravitasi akan menarik paksa turun jika anda sudah mendekati puncaknya dan bersifat ”manusia menara Babilonia”.
          Demikian juga kenaikan pertumbuhan (growth) ekonomi bisnis, saham, komoditi, valas, obligasi, derivatif dan bonds akan terjadi fluktuasi yang alamiah yaitu bioritmik aktivitas ekonomi manusia yang jika dipaksa melawan arah penurunan (self reinforcing) akan menyebabkan suatu catastroph Soros, seperti ambruknya bangun-an raksasa derivatif subprime yang di- ikuti oleh ambruknya suatu bangunan yang di-bangun oleh manusia dengan dana besar, waktu lama dan kerja keras, seperti bursa saham, bursa komoditi, bursa valas dan sektor riil dalam waktu yang lebih singkat, kerugian dan korban lebih banyak. Bio-Economic dengan alunan bioritmik, kita dapat memprediksi secara akurat tahun berapa (2008) dan bulan berapa (mestinya Juli-Agustus 2008) terjadinya puncak krisis yang dilanjutkan resesi AS. Ketidaksinambungan sebenarnya adalah irama fluktuasi bioritmik secara naik turun yang jika tidak dijaga dengan baik akan menyebabkan terjadinya gejolak dan catastroph, sehingga muncul ketidaksinambungan (ketidaklinieran) pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga saham.
           Dengan mengetahui bioritmik ekonomi secara tepat dan benar, maka kita dapat menghindari risiko sistemik dan individual dari bangunan raksasa yang dibuat manusia, sehingga kita dapat terhindar dari kerugian, kekalahan, kegagalan dan bencana dari risiko sistemik. Selanjutnya kita dapat membuat suatu kondisi ”Free Risk Natural” dan bukan free risk financial yang justru sering gagal dalam meredam dan mencegah munculnya suatu risiko. Yang sering dilakukan adalah memberikan suatu komitmen untuk memberikan suatu Fix Income, Reksadana Pendapatan Tetap, Reksadana Terproteksi, yield derivatif, tetapi tak jarang terjadi timbulnya risiko dalam jangka waktu tertentu yang dikenal sebagai ”siklus ekonomi - bisnis”. Sebenarnya bangunan derivatif ber-jenjang boleh-boleh saja, tetapi kira harus membuat pondasi yang kokoh (objek derivatif yang kuat) dengan arsitektur dan konstruksi bangunan sipil yang berkualitas agar bangunannya dapat langgeng, kuat, tahan gempa dan tiupan badai, seperti kasus subprime mortgages yang pondasinya sangat rapuh. Belum lagi financial engineering junk bonds subprime yang dibungkus berbagai produk derivatif aneh-aneh untuk menghilangkan risiko yang sebenarnya tak dapat dihilangkan. Jadi kita termasuk Alan Greenspan tak perlu bingung dan frustrasi bahwa

Kata Alan Greenspan : ”Kita takkan pernah menemukan model analisis yang sempurna untuk mengantisipasi risiko serta ketidakmampuan untuk mengansipasi ketidaksinambungan dalam pasar finansil”.
          Menurut pandangan saya, belajarlah dari sistim, dinamika dan evolusi alam sebagai perpustakaan dan laboratorium ilmiah tercanggih yang telah disiapkan Tuhan untuk dikelola dan dimanfaatkan manusia secara bijaksana dan optimal agar tidak merusak ”rumahnya sendiri”. Menurut informasi dari Dahlan Iskan (koran Jawa Pos, Oktober 2008) bahwa karena ilmu matematika, sempoa dan geometrik, hanyalah ilmu linier berdimensi 1 (satu)  yang tak mampu mengetahui, menguasai dan mengendalikan pengaruh kekuatan natural dan supernatural terhadap setiap aspek kehidupan), maka pasar derivatif menjadi makin canggih dan rumit. Menurut saya, pelaku bisnis finansil hanyalah membuat jejaring (web) artifisial yang rumit dan berjenjang yang justru mem-buat mereka terperangkap dalam jaringan kompleksnya sendiri tanpa mampu melepaskan diri saat meledaknya tsunami subprime. Yang mana kami sendiri dengan metoda Bio-Economic telah mengetahui dengan tepat jebolnya Rupiah ke Rp. 7.500 – 10.000  dan bangkrutnya bank di Indonesia oleh Krismon (1997); prediksi naik turunnnya IHSG sejak 1997 – 2003; depresiasi Rupiah ke Rp. 11.750 oleh pengaruh BBM; akan terjadinya resesi AS pada 2007-2008 (prediksi kami sejak 2003); prediksi pada Oktober2007 tentang akan adanya ”tsunami finansil subprime” dengan puncaknya pada Nopember 2008 dengan kebangkrutan Lehman Brothers, terdepresiasinya Rupiah menembus Rp. 10.000,-, kenaikan BBM yang mendorong SBI menuju 10,0 %, growth ekonomi 2008 sebesar 5,7 – 6,0 %, penurunan FFRT (the FED) menuju 1,0 – 1,5 %, ancaman deflasi AS dan global oleh kontraksi cut rate menuju zero rate yang dilakukan oleh bank-bansk sentral dunia. Menurut kami, resesi dan deflasi AS dan dunia akan lama pulih dan berlangsung hingga 2012 – 2015, dimana kesejahteraan dunia menurun kembali pada kondisi tahun 1960an dengan potensi Depresi Besar untuk kembali ke  era  tahun 1930an.
Beberapa kesalahan mendasar pasar derivatif yaitu : 1) pondasi sub-sektoral pada properti kelas menengah ke bawah yang semestinya menengah ke atas; 2) akurasi data tidak valid; 3) manajemen risiko yang perhitungannya tidak akurat; 4) pembuatan jaringan bangunan risiko tanpa arsitektur bagunan pencakar langit tahan gempa; 5) tingkat prediksi yang ren- dah dan tidak adanya ”early warning system” yang bekerja efektif dan cepat dalam sis-tim komputerisasinya; 6) perhitungan makro dan mikro ekonomi serta finansil dan akuntansi seperti NPV (Net Price Value) dan NFV (Net Future Value) yang bersifat linier, sehingga tidak bersifat lentur (elastis) dan efektif dalam melakukan assesment dan prediksi. Inilah yang menyebabkan kondisi bubble yang terus mendorong manusia dengan sifat yang penuh ketamakan dan kegairahan untuk melakukan ”leveraging” secara manipulatif tanpa ”underlying asset  dan  value ”  yang  sesuai  dan  sewajarnya. 

Implikasi Tsunami Finansil dari Sub-prime Mortgages sebagai Pemicu Resesi Dunia

Oleh : Edmond F. La’lang  (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)

           Sebuah renungan bagi ekonomi-bisnis global, termasuk di bursa saham, forex dan komoditi untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Don’t climb the mountain (with high speculation and greedy) but hike the hill (with good and strong fundamental aspects) agar tak terulang lagi bencana krisis ekonomi multidimensi Indonesia (1997-1998) dan krisis finansil sub-prime mortgages dengan efek domino ke ekonomi global.

* Efek Domino dan Kesalahan Manajemen Risiko yang Unprudential
            Tahun 2007 adalah tahun terjadinya gejolak ekonomi dunia yang disebabkan oleh “krisis subprime mortgages” pada sektor properti dari golongan menengah ke bawah di Negara AS yang banyak mengalami gagal bayar kredit propertinya. Selanjutnya menyebar ke sektor finansil, khususnya investment banking berskala internasional yang membeli asset subprime mortgages tadi serta menderivatifkan hingga 10 tingkatan dan menurut kami mirip bisnis Multi Level Marketing dengan jaringan yang berjenjang dan dipasarkan ke seluruh dunia, khususnya di Eropa, Jepang, Korsel dan Negara lainnya. Dengan defaultnya debitur subprime ini, maka telah menimbulkan kerugian maha raksasa di derivatif sekitar USD 15,4 Trilyun yang telah dialami oleh banyak institusi investment banking, sekuritas, perbankan, asuransi, hedge fund serta investor ritel di seluruh dunia. Krisis ini telah banyak membangkrutkan perusahaan properti, khususnya Fannie Mae dan Freddie Mac, serta kerugian sangat besar pada Citigroup, Credit Suisse, Morgan Stanley, AIG serta banyak lagi perusahaan finansil raksasa AS. Puncak turbulensi dan gejolak krisis subprime ini terjadi pada Juli 2008 dengan tumbangnya Lehman Brothers Inc., yang berasset sekitar USD 640 Milyar telah mengalami kerugian maha besar, karena misalokasi dana kelolaannya tanpa manajemen risiko dan prudential banking yang baik, dimana justru sebagian besar dananya di subprime mortgages dan tingkatan derivatifnya.  
Lehman telah melupakan prinsip “don’t put your eggs in one basket” yang sangat urgent pada pengelolaan bisnis yang berisiko tinggi.
         Banyak pengamat dan pakar ekonomi yang mengatakan bahwa kalangan Wall Street, termasuk CEO Lehman Brothers telah lalai, bodoh dan serakah dalam menjalankan bisnis finansilnya tanpa manajemen professional. Efek dari krisis subprime ini mulai menyebar ke bursa saham dunia, termasuk Dow Jones (DJIA) yang telah mencapai puncaknya di bulan April 2007 pada 14.425 point dan menyeret seluruh bursa saham dunia dengan koreksi lebih dari 50 % dan tentunya akan terus melemah menuju titik awal kebangkitan DJIA pada tahun 1992 yang berada pada titik 4.250an (awal era Presiden Bill Clinton) bahkan dapat mencapai level 2.000 – 3.000 jika menuju deflasi parah dan Obama tak mampu memberikan pemulihan ekonomi se-cara sehat dan sustainable yang hanya melakukan berbagai kebijakan ekonomi makro yang konservatif dan linier, demikian juga dengan nasib index Nasdaq, dan S&P 500 (AS), Nikkei 225 (Jepang), Hangseng (Hongkong), Shanghai (RRC), FTSE (Inggris), Xetra Dax (Jerman), CAC (Perancis), termasuk IHSG BEI (Indonesia) yang telah ter-koreksi hingga 1.110 (awal Nopember 2008). Kepanikan di bursa saham dunia ini turut memperparah kerugian sektor finansil dunia sekitar USD 20,55 Trilyun serta di IHSG (Indonesia) telah menguap dana bursa (capital outflow) sekitar Rp. 850 Trilyun.
         Dengan longsornya bursa saham dunia, khususnya di AS selain kerugian besar yang dialami oleh banyak perusahaan finansil, perbankan dan asuransi, juga menyebabkan kerugian besar bagi investor ritel, dimana di AS sebagian besar masyarakat AS, termasuk para pensiunan menaruh dananya di bursa saham. Kerugian ini akan menambah makin banyaknya rakyat miskin dengan daya beli yang menurun pula, sehingga dengan cepat merembet ke sektor riil, karena penurunan yang tajam dari konsumsi masyarakat AS. Dengan penurunan ini pula, berarti ekspor negara maju dan berkembang ke AS otomatis juga akan anjlok tajam dan memicu efek domino yang berpotensi menjadi resesi dan deflasi global yang parah.  

**Dinamika Biosiklus Ekonomi Bisnis sebagai sebuah Alternatif Baru**

Oleh : Edmond F. La’lang (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)
          Ada sejumlah keluhan pada beberapa waktu ini bahwa ilmu ekonomi sudah tidak  mampu lagi melakukan prediksi dan pemecahan berbagai masalah ekonomi yang kompleks dan rumit bahkan sejak 1930 pada saat terjadinya “Great Depression”  hingga krisis finansil yang melanda dunia pada 2007 yang hingga saat ini belum juga pulih sepenuhnya. Memang ilmu ekonomi masih mampu melakukan prediksi pada saat kegiatan ekonomi masih sederhana, tertutup dan masih bersifat regional dengan sistim perdagangan yang bilateral.  Dengan adanya globalisasi, khususnya di sektor finansil pada pasar uang, saham, derivatif, komoditi, obligasi dan surat berharga lainnya.
Menurut kami, ada sejumlah pertanyaan besar terhadap ilmu ekonomi yang belum mampu dijawab dengan tuntas, benar dan tepat yaitu :
1. Ilmu ekonomi belum mampu melakukan prediksi bulanan, kwartalan dan tahunan     terhadap banyak indicator makro ekonomi secara tepat dan selalu harus direvisi.
2. Tidak mampu memprediksi banyak faktor risiko internal dan eksternal, termasuk    dalam cara mengelola risiko, mencegah dan menghindari risiko sistemiknya.
3. Mengapa ilmu ekonomi hanya memanfaatkan ilmu matematik dan statistik dalam    melakukan berbagai prediksi indikator makro ekonomi yang justru tak mampu     mengikuti dinamika ekonomi bisnis, termasuk kecepatan perubahan teknologi.    Serta juga membangun berbagai struktur keuangan yang sangat rapuh, baik dari    segi arsitekturnya maupun pondasi bangunan berbagai tingkatannya yang hanya    memanipulasi dan menderivatkan perhitungan matematik untuk membentuk suatu    bangunan derivate keuangan yang sangat besar, masif dan meluas.
4. Ilmu ekonomi belum mampu menutupi berbagai kesenjangan sosial, pengentasan    kemiskinan, melakukan distribusi pendapatan secara baik serta analisis ekonomi    lingkungan secara tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan dan sosial akibat    berbagai kegiatan pembangunan ekonomi secara terpadu, efektif dan efisien.
5. Dalam perhitungan waktu, ilmu mathematik hanya memakai berbagai derivatnya    untuk meramalkan alunan dinamika ekonomi bisnis manusia, tanpa memasukkan    aspek budaya, sosial dan psikologis manusia yang selalu ingin maju dan berubah.
            Menurut Prof. Paul Ormerod bahwa ilmu ekonomi telah mati (The Death of Economic) dan beliau memberikan suatu solusi untuk memakai metoda The Butterfly Economics dalam bentuk cara semut dalam berkelompok dan berorganisasi, termasuk menentukan target gula yang dapat diartikan sebagai peluang bisnis dan keuntungan ekonomi dalam bentuk kerjasama yang harmonis. Hal inilah yang telah digagas oleh Adam Smith sebgai Bapak Ilmu Ekonomi bahwa ekonomi adalah suatu ilmu untuk mensejahterakan masyarakat dengan selalu menjaga lingkungan hidup dan alam semesta (astronomis) ini agar selalu harmonis dan sinergis yang berguna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Tetapi para ekonom pengikut Adam Smith tidak dapat menterjemahkan rumusan ini ke dalam rumus, metoda, analisa dan keputusan ekonomi yang baik. Inti dari pesan mulia ini adalah kita semestinya memperlakukan manusia, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kegiatan ekonomi dan pengambilan keputusan ekonomi haruslah dalam konteks yang harmonis terhadap lingkungan sosial, lingkungan hidup dan lingkungan alam semesta dalam visi, kegiatan dan konsep yang lebih kompleks (non-linier), manusiawi dan ramah lingkungan dan bukannya bersifat maksimalisasi keuntungan serta eksploitasi berbagai sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam aspek sosialnya. Itulah sebabnya ilmu ekonomi dan bisnis hanya menghasilkan berbagai masalah, seperti kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, gejolak ekonomi dan sosial-politik, kemiskinan, penyakit, perang dan kerusakan mental (egoisme, keserakahan, konsumerisme, dan kekayaan berlebih tanpa nurani suci).

1. Asumsi-asumsi dan simulasi linier matematis

           Ilmu ekonomi banyak menggunakan berbagai asumsi-asumsi sebagai parameter dalam menghitung laju pertumbuhan ekonomi beserta faktor-faktor pengaruhnya yang sering tidak mewakili kondisi sebenarnya yang berkembang di dalam ekonomi lokal dan dunia luar. Ekonom mensimulasi rumus-rumus turunan (derivat) secara matematis yang akan diuji secara statistik (uji kejujuran dan standar deviasi terhadap validasi data) dalam bentuk pola koordinat yang berbentuk garis lurus. Dengan demikian selain hasil metoda ekonomi hanya bersifat tertutup dan sederhana, juga tidak menggambarkan aspek kondisi biologis, psikologis, harapan dan kebutuhan dasar serta kemajuan teknologi manusia yang umumnya bersifat kompleks dan berdimensi 2 – 3 dan tidak mampu diukur secara akurat oleh metoda ekonomi linier yang berdimensi  lebih rendah yaitu dimensi1. Pada dasarnya garis linier (lurus) akan dikuasai oleh dimensi ke 2 (garis kwadratik yang melengkung) berbentuk bidang (X Y). Dimensi ke 2 dikuasai oleh dimensi ke 3 berbentuk ruang / volume (X Y Z), dimana kompleksitas manusia sebagai mahluk biologis, psikologis dan sosial akan banyak menggambarkan dimensi ini. Area ini akan banyak digeluti oleh bidang biologi murni, biologi terapan (kedokteran, pertanian, perikanan, kehutanan dan bioteknologi),  filsafat, psikologi, sosiologi, seniman, feng sui & hong sui dan sekarang mulai berkembang di bidang teknologi informasi (dimensi 3), komunikasi (3 G), termasuk bidang pasar finansil (financial astronomis) dan program computer artificial intelligent, bio-hibrid, dan lain-lain.
          Manusia yang hidup di dunia ini akan selalu dipengaruhi oleh dimensi 1 – 4 dalam bentuk pengaruh fisik dan kimiawi (dimensi 1 – 2), pengaruh biologis untuk bertumbuh dari saat lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, menua dan mati yang  mempengaruhi perkembangan fisik, biologis dan psikologis sesuai dengan tingkat perkembangan budaya,  pendidikan, prestasi, status sosial yang sesuai dengan “piramida Maslow” dalam pencapaian needs & wants menuju aktualisasi diri dari seorang individu dan kelompok sosialnya (dimensi 3) dan kehidupan dan ketaatan beragama (dimensi 4). Model teori ekonomi yang tertutup, sederhana dan linier ini tentulah tidak dapat mengantisipasi dan memprediksi secara tepat dan akurat dalam jangka menengah (bulanan-tahunan) hingga jangka panjang (dekade dan abad). Ilmu ekonomi dapat memprediksi dengan baik jika pada kondisi ekonomi tertutup, monopolistis dan sederhana sebagai faktor internal tanpa memperhitungkan faktor eksternal. Dan menurut M. Dawam Raharjo (Cakrawala, harian Bisnis Indonesia, 29-02-2004) bahwa ekonom tidak mempertimbangkan faktor budaya dalam rumus ekonominya. Padahal budaya adalah gambaran dinamika manusia untuk bertumbuh, berkreasi, berkelompok dan berorganisasi sesuai norma dan adat kebiasaan dalam kehidupannya setiap hari, tergantung apakah tertutup, statis dan konservatif atau terbuka, dinamis dan modern yang akan menentukan tingkat kemajuan bangsa itu sendiri, termasuk ekonominya.
Juga menurutnya bahwa Greenspan ekonom terkenal dan Ketua Federal Reserve Board tentang kasus Rusia yang setelah meninggalkan sistim sosialis ternyata tidak serta merta mampu mengembangkan ekonomi pasar bebas (tetapi beliau lupa dengan kemajuan Cina yang akan menjadi negara maju sekuat USA pada 2020). Sehingga ia berucap ternyata not nature at all, but culture.  Selama itu sebelumnya, ia melihat bahwa pasar itu seperti alam, punya hukum-hukum pasti, sebagaimana pandangan ekonom umumnya. Hal ini terjadi kontroversi dalam rumus dan praktek ekonomi yang justru bersifat linier semata. Menurut kami, sebenarnya jika ekonom memasukkan hukum-hukum alam, khususnya biologis maka akan jelas adanya suatu “kepastian hukum alam” karena memang alamlah yang membuat terjadinya suatu siklus dalam peradaban (culture) manusia, termasuk siklus ekonomi (recovery, prosperity and recession) dalam perjalanan ruang dan waktu.  Seperti paragraph di atas bahwa Adam Smith membuat teori dasar ekonomi berdasarkan hukum alam, tetapi dalam penerapan rumus, teori dan praktek sudah tidak mengimplementasikan pemikiran Bapak Ekonomi ini. Mereka saat ini justru berkutat pada rumus-rumus matematis dan statistik yang bersifat linier belaka tanpa menyertakan berbagai rumus dan realitas hukum alamiah, seperti fisika, kimia dan biologi. Ekonom hanya menurunkan (derivat yang sekarang marak dalam bentuk berbagai bentuk bisnis financial derivatives) rumus matematik empiris dan asumsi – asumsi ekspektasi linier tanpa memperhatikan hukum natural (dimensi 2 – 3) dan hukum supernatural (dimensi 4) yang akan selalu sangat mempengaruhi siklus dan gejolak budaya dan peradaban manusia, (termasuk ekonomi), yang hasilnya jelas terlihat bahwa pembangunan ekonomi dan perkembangan teknologi yang sering tak ramah terhadap lingkungan alam dan sosial. Jadi semestinya ekonom dan teknolog lebih menyandarkan diri pada teori relativitas Einstein, E = mC2 untuk menghasilkan enersi, profit dan hasil berlimpah tanpa harus mengorbankan banyak biaya modal, kerugian (akibat risiko siklus dan gejolak ekonomi), pemborosan SDA, kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan hidup dengan efisiensi pemakaian m (mass) dalam kuantitas lebih sedikit, tetapi memperbesar kecepatan kwadrat (c2), seperti proses hasil yang dilakukan oleh Nannoteknologi.  Inilah yang dialami banyak  negara, khususnya di era globalisasi yang terbuka dari berbagai inovasi dan pengaruh teknologi, produk, likuiditas uang, budaya serta teknologi informasi dan telekomunikasi, khususnya aliran modal di pasar valas, uang dan saham yang bergerak cepat di seluruh dunia dan mampu menimbulkan gejolak dan turbulensi ekonomi suatu negara dan regional.  Ilmu ekonomi matematis dan statistik tidak dapat memprediksi, menghindari dan membuat peringatan dini terhadap suatu kejutan dan gejolak perubahan eksternal yang begitu cepat, massif dan kadangkala ganas jika suatu negara, masyarakat, perusahaan dan individu tidak siap dan mampu mengantisipasi kejutan ini layaknya “second and third wave”  Alvin Toffler.

2.  Kebijakan Moneter - Fiskal dan Implikasinya dalam Mengantisipasi dan Meredam     Krisis Ekonomi 1997 – 1998.
           Hal yang akan dilakukan dalam kebijakan ekonomi untuk mengantisipasi dan meredam terjadinya krisis yang makin berat dan mendalam pada tahun 1997/1998 adalah dengan beberapa alternative yaitu menutup kembali keterbukaan itu dengan cara Kontrol Devisa, Fix Rate (Peg to USD), Manage Floating Rate bahkan Currency Board System (CBS) di pasar valas dan saham serta proteksi ketat terhadap berbagai produk dari luar. Dengan saran IMF adalah dengan menaikkan SBI hingga 70 %, pengetatan fiskal, mengurangi subsidi dan melikuidasi sejumlah bank dengan CAR minus.  Semestinya para ekonom memang harus memakai ilmu psiko-sosial untuk meredam gejolak dan bukan hanya semata memakai teori ekonomi dan moneter yang sebenarnya tidak terlalu manjur. Dan, meski kelihatannya sangat berat, misleading, merusak perbankan dan bersifat shock therapy untuk memperkuat Rupiah dan mengendalikan import inflation. Tetapi secara ekonomi jangka panjang, sebenarnya adalah agar kita dapat mampu kembali bangkit meski telah banyak mengorbankan bank dan perusahaan yang bangkrut serta naiknya tingkat pengangguran dan kemiskinan. tetapi itulah yang harus kita bayar dan lakukan atas semua kinerja kita yang kurang professional dan prudent dalam mengelola utang negara dan bisnis. Dan hasilnya kita terlihat mulai benar-benar sehat, kuat dan bangkit kembali. Selama ini kita dapat mengandaikan bahwa selama ini kapal Indonesia hanya berlayar pada sebuah aliran sungai yang terttutup dan tenang tanpa adanya angin kencang dan gelombang besar. Gelombang besar dan angin kencang ini mulai mengombang-ambingkan kapal Indonesia di dekat Laut Cina Selatan, di Laut Arafura dan Laut Morotai yang membuat penumpang Indonesia panik, dimana banyak orang berusaha menyelamatkan diri dan akhirnya mengirim SOS ke IMF.  Banyak penumpang dalam kepanikan ini ternyata mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Jadi agar kita dapat survive terhadap semua gejolak eksternal pada era globalisasi ini adalah dengan bervisi, berpikir, berkonsep dan berperilaku biologis yang kompleks untuk memecahkan berbagai masalah kompleks terhadap kondisi internal dan eksternal. Kejutan ini dapat berupa munculnya ketidakpercayaan investor global terhadap kondisi manajemen dan perilaku bisnis serta pemerintahan yang tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip ekonomi-bisnis maupun manajemen administrasi (Good Corporate Governance dan Clean Government) yang menimbulkan banyaknya moral hazard, fraud dan adanya mismanajemen lainnya maupun kejutan teknologi berbagai jenis produk barang, jasa dan budaya. Nah pada saat muncul krisis moneter dan ekonomi berupa krisis kepercayaan terhadap pengelolaan bisnis, ekonomi dan pemerintahan, maka investor asing di pasar uang, saham dan sektor riil beramai-ramai meninggalkan negara tersebut dalam bentuk melepas posisi mata uangnya dengan hard currency, panic selling di pasar modal, menarik semua rekening giro dan deposito di perbankan dan surat-surat berharga serta menutup pabriknya yang ujungnya “Capital Flight” besar-besaran. Inilah yang kita kenal sebagai “Krisis yang Berdampak Sistemik”, dimana hampir semua institusi bisnis finansil dan riil akan terkena dampak yang besar dan berat, sehingga sistim ekonomi, bisnis dan finansil akan mengalami kontraksi berat yang menyebabkan gejolak dan krisis parah serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. Hal ini juga terlihat pada saat Jepang mengalami krisis dan deflasi jangka panjang dan juga pada 2007/2008 di USA dan Eropa (kasus Yunani yang hampir bangkrut). Hanya saja negara-negara maju tidak memanfaatkan jasa IMF dalam berutang, tetapi menerbitkan sejumlah surat utang negara dalam berbagai bentuk untuk melakukan paket bailout dan stimulus, sehingga menjadi beban negara yang berat dan harus ditanggung oleh generasi berikutnya, seperti kasus BLBI sebesar Rp. 650 Trilyun. Jadi marilah kita mengelola keuangan negara dan perusahaan secara lebih sehat sesuai struktur permodalan yang kuat dengan manajemen ekonomi-bisnis yang sehat, kreatif, innovatif, efisien dan efektif dalam memajukan negara maupun perusahaan agar tidak terjadi moral hazard, fraud, ketidaktahuan, kecerobohan, kelalaian dan keserakahan dalam mengelola ekonomi dan keuangan negara dan bisnis. Janganlah ingin cepat besar, tetapi penuh lemak yang tambun, lamban dan tidak sehat yang menghasilkan rendahnya daya saing, kerapuhan struktur keuangan dan kinerja ekonomi yang buruk serta kerentanan terhadap gejolak ekonomi internal dan eksternal. Inilah yang semestinya menjadi benchmark fundamental ekonomi dan bukan semata indikator makro ekonomi yang sering membuat perencana ekonomi makin pede dan akhirnya banyak berutang dengan hanya berdasarkan ratio DSR dan ratio Defisit APBN terhadap PDB yang sebenarnya tak tepat. Hutang semestinya didasarkan pada prospektif ekonomi dari kinerja ekonomi riil dan bukan dari gelembung di pasar finansil, apalagi dengan melindungi hal yang rapuh ini pada asuransi hedging yaitu Credit Default Swap (CDS) yang justru spekulatif dan beresiko tinggi, mirip kasus subprime mortgages dan Yunani yang kemudian diderivativekan lagi beberapa tingkatan membentuk bangunan raksasa, tetapi dengan fundamental yang sangat rapuh (fragile underlying sectoral economy). Walhasil jika sektor dan negaranya tak mampu membayar (default), maka akan terjadi gejolak kepercayaan yang menyebabkan terjadinya capital outflow dengan menjual semua surat berharga CDS dan derivativenya dan terjadilah catastrophic. Otomatis, perusahaan dan negara tersebut harus memberikan imbal hasil (yield) yang lebih tinggi agar pasar dapat membeli dan akhirnya makin tercekik dengan hutang yang makin menggunung. Hal ini juga kemungkinan akan dialami oleh Amerika dengan hutang raksasa di kemudian hari, apalagi kondisi ekonomi yang masih rapuh serta kekalahan persaingannya dengan China di ekonomi global.
           Perencana dan pengamat ekonomi seringkali tidak dapat melihat secara insight dan visioner adanya kemungkinan kejutan eksternal terhadap suatu negara, dimana pelaku ekonomi dan pemerintah tidak mampu mengelola perusahaan dan negaranya dengan baik dan benar agar menghasilkan sesuatu hasil (trickle down effect), value added dan multiflier effect berupa meningkatnya kesejahteraan masyarakatnya secara kontinyu. Tetapi justru  hanya menguntungkan segelintir orang saja di dunia bisnis dan pemerintahan, berupa maraknya tingkat KKN ke seluruh sistim ekonomi dan pemerintahan, ekonomi rente, mark-up bisnis dan proyek, manipulasi dan white collar crime perbankan, monopoli perusahaan swasta dan BUMN.  Tetapi hal yang paling utama dan krusial adalah kurangnya daya visioner, kurangnya profesionalisme dan ketidakmampuan dalam mengelola utang swasta dan negara dengan struktur permodalan yang sangat timpang dengan range modal hanya 5 – 20 % dengan porsi utang 80 – 95 % serta manajemen risiko kredit dan bisnis serta manajemen krisis yang kurang dapat diandalkan untuk meredam makin menghebatnya turbulensi dan krisis ekonomi.

3. Struktur Pembentukan dan Karakter Bangsa yang kurang solid dan partisipasif.
          Bangsa Indonesia sebenarnya terdiri dari berbagai keragaman suku, agama dan golongan yang berbentuk pasir sebagai suatu bentuk organisasi yang tidak solid, partisipasif dan berdaya juang yang tinggi serta kurangnya konsistensi dan komitmen. Fragmen pasir ini tidak mempunyai “daya kohesitas” yang tinggi, gampang terpisah dan kurang saling mendukung (justru saling menjatuhkan dan menjegal). Kelompok pasir ini jika dimasukkan dalam bola (globalisasi) dan dijatuhkan ke bawah (gejolak gaya gravitasi) tidak akan melenting, tetapi justru lengket di atas tanah, artinya bola pasir ini tak mempunyai “daya lenting (recovery)” yang kuat untuk bangkit kembali (1997 hingga saat ini, meski pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 % pada 2003 tetapi hanya ditopang oleh sektor konsumsi 3 – 4 % sejak 1999 – 2002 dan mulai menanjak kembali pada 2007 hingga 6,2 % oleh perolehan ekspor SDA (ke China, India, USA, Eropa dan Jepang serta meroketnya spekulasi harga komoditas minyak, tambang lain dan perkebunan.  Hal ini terbukti dengan pertumbuhan ekonomi pada 2009 hanya 4,5 % saja dengan tingkat ekspor yang menurun dan harga komoditas SDA yang anjlok sebesar 40 – 50 % dari harga tertinggi pada 2007. Dengan demikian, jika dilihat secara fundamental dan stuktural ekonomi maka pertumbuhan ekonomi sangat didukung oleh faktor konsumsi (60 %), ekspor SDA (30 %) dan ekspor manufaktur (10 %) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas dalam arti belum mampu memberikan suatu kesejahteraan bagi seluruh rakyat banyak.  Hal ini menunjukkan bahwa kinerja kabinet dengan berbagai kebijakan ekonominya tak terlalu signifikan dan cemerlang, karena tanpa pemerintahan yang kuat dan hebatpun, ekonomi pasti akan tumbuh wajar pada 3 – 4,5 % tanpa gangguan krisis ekonomi internal maupun eksternal (krisis ekonomi USA dan dunia pada tahun 2007/2008).
          Untuk itu diperlukan suatu paradigm baru dan perubahan mindset dengan cara open minded terhadap kebersamaan, persatuan, semangat nasionalisme dan kepahlawanan untuk mengikis habis segala mental feodal, KKN, egois, serakah, instant dan mau enaknya sendiri serta berjuang dengan kerja keras tapi smart untuk menghargai prestasi serta disiplin dan etos kerja yang professional dalam menghasilkan produk kreatif dan innovatif ber’value added” tinggi yang disertai dengan produktifitas yang tinggi pula.  Kita memulainya  dengan kekayaan SDA, baik non renewable resources maupun renewable resources dengan teknologi pengolahan yang maju agar bangsa kita mendapatkan value added yang tinggi dan bukan lagi sebagai negara eksportir SDA yang masih mentah demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.  Jadi keunggulan kita adalah membentuk sebuah negara bersifat Natural Based Industrial State.  Pembangunan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan antar wilayah, sehingga ketimpangan pembangunan ekonomi dapat lebih didasarkan pada keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial secara merata, non diskriminatif, konsisten dan kontinyu.

Pengaruh Bio-siklus dan Bio-ritmik terhadap Dinamika Ekonomi Bisnis

Oleh : Edmond F. La’lang (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)

          Kita semestinya berpikir, berkonsep, berstrategi, berorganisasi dan bertindak secara “biologis”.  Seperti yang marak saat ini yaitu manusia mulai “back to nature” sebagai wujud dari kembalinya manusia menjadi lebih akrab dan ramah lingkungan. Hal ini terlihat dalam bentuk pemanfaatan berbagai jenis makanan dan obat-obatan organic untuk kesehatan dan memperpanjang umur manusia. Hal ini telah dinyatakan oleh John Naissbitt (Global Paradox, 1988) yang menyatakan bahwa abad 21 adalah sebagai Abad Biologi, dan terbukti sejak 1995, dunia industri telah diramaikan dengan berbagai produk yang memakai kata biologi, yaitu bio-farma, bio-medis, bio-vision, bio-energy, bio-samsung dan bio-teknologi, termasuk preventif yaitu bio-security, bio-safety, bio- terrorism, biometric dan bio-bio lainnya.  Selanjutnya menurut Prof. Smith (MIT) bahwa pada tahun 2020 adalah sebagai awal abad biologi, dimana banyak muncul industry biofarma yang bersifat preventif serta hilangnya berbagai profesi mapan dan beberapa disiplin ilmu.  Untuk itulah ilmu ekonomi perlu berpikir dan menelurkan konsep dan rumusan yang akurat dan bersifat biologis yaitu berdimensi 2 – 3 dan dimulai dengan pemakaian model matematik quantum kompleks dan ilmu statistika dikembangkan menjadi ilmu dinamika (aero-dynamics dan water-turbulencies) untuk memecahkan berbagai problem ekonomi dan sosial dengan keterbukaan eknomi, social dan politik dari sistim globalisasi dan perdagangan bebas serta perkembangan teknologi industri, teknologi informasi-telekomunikasi dan manajemen bisnis yang makin kompleks, dinamis, penuh perubahan dan gejolak yang bersifat demokratis dan persaingan keras serta kadangkala dipenuhi dengan sifat serakah, egois, chaoistik dan intrik. Jadi perlu didukung oleh sistim komputerisasi yang berotak cerdas mengikuti “bio-artificial intelligent” dan “bio-hybrid” dan digabungkan dengan perkembangan ilmu nannoteknologi dan genetic-technology untuk mempersiapkan sebuah perhitungan yang lebih super kompleks dan cepat dengan tingkat memori sangat tinggi agar dapat memprediksi dan memecahkan, bahkan dapat mencegah timbulnya berbagai masalah ekonomi, pangan, sosial, iklim dan lingkungan hidup dalam selang waktu 25 – 100 tahun mendatang.
         Tentunya diperlukan suatu kepakaran dan ketrampilan yang didukung oleh manusia yang berpikiran terbuka (open-minded) dan visioner serta mental spiritual, emosi positif dan tingkat intelektual yang modern dan berjiwa sosial dan demokratis. Sebenarnya sejak era 1980an, para mahasiswa ekonomi dan bisnis di USA telah disarankan untuk belajar ilmu biologi untuk diterapkan di bidang ekonomi dan bisnis tetapi ditolak dan justru mengembangkan berbagai simulasi teori ilmu matematis (membentuk devisi baru ilmu ekonomi matematika yaitu “ekonometrika” yang penuh kerumitan serta memanfaatkan ” acrobat financial engineering” yang justru menyesatkan mereka dan akhirnya tak mampu mengelak akan datangnya krisis finansil 2007 yang dibuat mereka sendiri. Layaknya ekonom finansil mendirikan bangunan raksasa dan tinggi pada tanah yang rapuh subprime mortgages golongan miskin atau terbelit sendiri di sebuah sarang laba-laba global dengan berbagai jaringan dan tingkatan derivatif lalu dilindungi oleh swap dan hedging yang justru berisiko tinggi,  dalam arti mereka tak mampu menelurkan teori ekonomi modern yang sesuai dengan perdagangan dan globalisasi yang sangat terbuka, cepat dan penuh dinamika dan akhirnya semua prestasi mereka selama puluhan tahun harus habis dan hancur dihantam tsunami finansil pada 2007 – 2008 dengan akibat kebangkrutan perbankan. korporasi dan resesi ekonomi mirip Great Depression 1930an. Ironi dari sebuah pendakian pertumbuhan ekonomi yang sia-sia yang sering menimbulkan efek “bubble dan over-heating economy”  dan akhirnya hanyalah menghabiskan waktu, tenaga, SDA dan uang selama puluhan tahun untuk kembali ke dasarnya yaitu pada kondisi ekonomi 1930an dengan berbagai kebangkrutan, bailout dan stimulus artifisial  yang sangat sulit menurunkan tingkat pengangguran, kemiskinan dan recovery ekonomi serta ancaman deflasi yang parah dan lama layaknya memasuki era musim dingin yang penuh badai salju dan membekukan sektor ekonomi - bisnis.
1.  Bioritmik  Ekonomi  (Ekonomi Makro)
           Kegiatan ekonomi adalah merupakan segala aktifitas dari sebuah komunitas ekonomi pada sebuah kabupaten, propinsi dan Negara yang dapat memberikan berbagai manfaat ekonomis berupa keuntungan, produksi dan saluran tata niaga untuk penyediaan barang dan jasa (termasuk finansil) bagi kebutuhan konsumsi dan pelayanan masyarakat yang ada di wilayah dan negaranya. Kegiatan ekonomi ini akan memberikan suatu dinamika pertumbuhan bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan bagi pelaku ekonomi (keuntungan), para karyawan dan buruh (gaji dan upah), serta bagi stakeholder yaitu negara (pajak) dan masyarakatnya (multiflier effect).  Kegiatan ekonomi akan memberikan suatu aspek pertumbuhan dengan suatu dinamika yaitu naik turunnya kondisi ekonomi dalam kegiatan produksi barang dan jasa, keluar masuknya arus investasi riil dan finansil, sektor moneter dan fiskal pemerintah dalam menjalankan kegiatan pemerintahan sesuai anggaran APBN, aktivitas ekspor impor dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Pertumbuhan ekonomi dalam bentuk dinamika ekonomi merupakan suatu Bioritmik Ekonomi suatu daerah, propinsi dan Negara yang berbentuk alunan dan fluktuasi ekonomi yang sering diberikan dalam bentuk berbagai “Indikator Ekonomi Makro” yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat SBI dan bunga kredit, nilai Rupiah, cadangan devisa, surplus-defisit perdagangan dalam Neraca Pembayaran Internasional dan anggaran pemerintah (Current Account), Jumlah Uang Beredar (Money Based Indicator), harga BBM dan komoditas sembako serta bahan baku konsumsi dan industri, dan lain-lain. Tetapi yang juga penting adalah Debt Service Ratio suatu negara dalam mengelola utang-utangnya agar dapat memberikan suatu leverage yang rational bagi kemajuan ekonomi sekaligus dapat membayar kembali cicilan utangnya (kasus Eropa 2009-2010 seperti Yunani, Spanyol dan Portugal).  Anehnya sebagian besar negara maupun perusahaan besar dunia akan selalu melindungi semua utangnya dengan cara hedging atau Credit Default Swap mirip reasuransi, tetapi dengan risiko tinggi dan biaya yang cukup mahal yang sering dijajakan oleh Investment Banking Global.  Padahal risiko itu sendiri pada dasarnya tidak dapat “terproteksi” secara aman dengan berbagai swap dan hedging dari gejolak ekonomi karena adanya siklus ekonomi oleh kekuatan alamiah.
        Dengan indikator ekonomi, para ekonom berusaha melakukan prediksi ekonomi bulanan, triwulan, kwartalan dan tahunan dalam bentuk risalah “Economic Outlook” untuk memberikan gambaran prospek ekonomi bagi pemerintah dan pengusaha dalam menentukan berbagai perencanaan strategis dalam kebijakan ekonomi pemerintah dan kebijakan bisnis perusahaan terhadap berbagai data ekonomi makro yang telah diprediksikan. Tetapi masalah utamanya adalah seringkali ekonom pemerintah dan pengamat ekonomi tidak dapat memberikan suatu prediksi yang tepat dengan berbagai perhitungan ekonometrika dalam bidang moneter dan fiskal, sehingga setiap triwulan hingga tahunan dengan berat hati harus merevisi berbagai prediksi ekonominya untuk disesuaikan (adjustment) dengan kondisi riil makro ekonominya.  Hal ini disebabkan oleh pemakaian berbagai rumus ekonometrika yang bersifat linier dan berdimensi 1 untuk memprediksi kegiatan ekonomi manusia yang berdimensi lebih kompleks (dimensi 1 – 3) serta dibantu ilmu statistika (statis/unmovable) untuk meramal berbagai dinamika (movable) dari berbagai matriks dan kombinasi kondisi fisik, mental, ekspektasi, prestasi, spirit,selera dan faktor psikologis lainnya dari sejumlah ratusan juta bahkan milyaran mahluk manusia konsumen dan produsen dalam sebuah Negara dan dunia.  Ilmu ekonomi hanya mengerti tentang bagaimana mendapatkan keuntungan dan bertumbuh naik setiap waktu sebagai prospek dan peluang ekonomi, sedangkan jika menurun adalah kerugian, ketidakpastian bahkan risiko yang perlu dan harus dihindari. Padahal naik turunnya kondisi dan pertumbuhan ekonomi adalah wujud alami dari kegiatan mahluk manusia seperti siang-malam, bangun-tidur, sehat-sakit, senang-sedih, sukses-gagal, termasuk untung-rugi.  Hal inilah yang membuat manusia ekonomi sering tidak memahami adanya pengaruh supernatural dan natural terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Untuk itulah perlunya para ekonom dan pebisnis dapat lebih mengetahui alunan dan fluktuasi bioritmik (telah banyak dipakai oleh ilmu olahraga, kedokteran, psikologi) untuk menghindari siklus ekonomi yang menurun dengan cara antispasi bahkan preventif agar terhindar dari risiko kerugian, kegagalan  dan  kebangkrutan.  Metoda  bioeconomic  adalah  bersifat  preventif (pencegahan) dengan early warning system agar ekonomi dan bisnis dapat terhindar dari risiko kerugian, risiko pasar, risiko bunga kredit, risiko inflasi,  risiko gejolak nilai mata uang, risiko kenaikan harga BBM, harga bahan baku dan bahan penolong,  risiko gagal bayar, risiko persaingan, risiko perubahan selera dan kebutuhan konsumen dan berbagai risiko lainnya yang dapat membuat perusahaan berada dalam risiko kerugian, risiko tuntutan hak-hak buruh dan risiko kebangkrutan.

2.  Bioritmik  Bisnis  (Ekonomi Mikro)
          Bioritmik bisnis (ekonomi mikro) sebenarya adalah pembentuk makro ekonomi dari suatu negara layaknya milyaran sel-sel kecil yang membentuk sebuah tubuh manusia. Seringkali kita lebih mementingkan kondisi makro ekonomi, tanpa perlu memperkuat ekonomi mikro, padahal pandangan dan kebijakan ini sangat keliru, karena dari sel-sel mikro yang kuat dan sehat maka akan membentuk sebuah tubuh yang kuat dan sehat. Dengan demikian jika pertumbuhan sebagian besar sel-sel mikro mengalami suatu kendala, banyak hambatan, penyakit dan virus, maka juga akan mempengaruhi secara nyata vitalitas dan kondisi makro ekonominya. Ekonomi mikro terdiri dari berbagai kegiatan bisnis, seperti industri (besar, menengah, kecil) dan jasa-jasa perdagangan riil dan finansil (besar, menengah, kecil), hingga toko- toko ritel tradisional dan modern serta PKL. Sebuah industri akan terdiri dari entitas manufaktur yang didukung oleh berbagai perusahaan supplier bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, barang komponen serta jaringan distribusi dan retail untuk memasarkan produk manufakturnya. Fluktuasi harga dari berbagai jenis komoditas bahan baku, penolong dan komponen ini akan menentukan tingkat harga cost of manufacturing serta cost of goods sold serta tingkat laba perusahaannya dan tingkat penetrasi ke pasar (pangsa pasar) yang akan menentukan pula tingkat fluktuasi keuntungan, peluang, pertumbuhan, persaingan dan risiko bisnisnya. 
          Seringkali ekonomi mikro diidentikkan dengan sektor riil yang bergerak lamban, bersifat fisik berupa bangunan luas dari pabrik, real estate, bangunan properti dan lahan pertanian (dalam arti luas) dengan hasil produk yang “tangible”. Sedangkan ekonomi makro diidentikkan dengan sektor finansil / perbankan yang bergerak cepat  yang sering menyebabkan kondisi “bubble economy dan overheating”, oleh ekspansi kredit ke sektor riil dan jasa, spekulasi berlebihan di pasar uang, saham, derivatif dan komoditas serta bersifat maya (virtual) dengan hasil produk jasa yang “intangible”. Pergerakan yang cepat dan raksasa di sektor finansil ternyata memang dapat membuat kondisi pasar finansil menanjak tinggi dengan raly-raly, dan akhirnya bergejolak (turbulences) untuk catastroph dan crash landing yang menimbulkan kepanikan bagaikan sebuah efek tsunami, gempa dan snow balling. Pelaku finansil bagaikan sebuah gerakan burung dan udara yang dapat bergerak cepat antar negara dan benua dalam kecepatan tinggi yang didukung oleh kecanggihan sistim komputerisasi dari teknologi informasi dan telekomunikasi yang mengglobal. Gerakan cepat dan raksasa inilah yang dapat menimbulkan efek badai (angin) atau tsunami (air) yang dapat merusak dan fatal. Sedang gerakan sektor riil, tentu akan sulit untuk segera memindahkan berbagai asset bangunan, mesin, manusia dan produknya dalam waktu singkat.
          Jadi terdapat berbagai faktor kompleksitas yang saling mempengaruhi (interinfluence) dan ketergantungan (interdependent) antara ekonomi makro dan ekonomi mikro yang harus disikapi secara bijak, tepat, prudent dan visioner.  Untuk itu para ekonom dan pebisnis seharusnya menyadari kondisi kompleks ini dengan memakai teori ilmu ekonomi dan bisnis yang kompleks dan berdimensi tinggi (2 – 4) agar dapat lebih mengetahui berbagai alunan kondisi ekonomi makro, mikro dan elemen pendukungnya berupa fluktuasi harga komoditas dan perubahan iklim. Kondisi yang dihadapi dunia saat ini layaknya saat krisis masuk ke musim gugur (daun-daun korporasi berguguran/bangkrut) dan sekarang memasuki musim dingin (winter). Apakah dengan berbagai kebijakan ekonomi dan moneter dengan suku bunga rendah, quantitative money easing, bailout dan stimulus dapat bekerja baik untuk pemulihan dan sehat kembali dengan memasuki musim semi (bunga-bunga bersemi dan tumbuh kembali) atau sessat saja dan segera masuk ke musim panas untuk menghadapi musim gugur dan musim dingin berikutnya yang berkepanjangan seperti yang telah dialami oleh Jepang sejak 1990 hingga saat ini. Memang dengan paket suku bunga rendah dan quantitative easing oleh Bank Sentral serta bailout dan stimulus oleh kebijakan fiskal keuangan cukup membuat efek agak hangat, tetapi apakah ini dapat berlanjut menjadi pemulihan yang kuat, sehat dan jangka panjang atau hanyalah bangun sesaat untuk jatuh kembali lebih ke bawah, seperti yang telah diprediksikan oleh pakar ekonomi USA, Prof. Nouriel Roubini bahwa ekonomi  Amerika akan mengalami  suatu  kondisi  “double dip recession”  oleh kebijakan ekonomi yang kurang tepat serta beban hutang yang makin menggunung yang dapat berakibat “default” (gagal bayar), risiko inflasi, risiko sistemik gagal bayar (default) negara-negara Eropa, seperti Yunani,  Portugal dan  Spanyol   serta risiko gejolak spekulatif di bursa komoditas minyak dan komoditas lainnya yang akhirnya harus direstrukturisasi dengan biaya makin mahal serta sektor manufaktur Amerika yang makin kalah di pasar domestik dan global dari produk-produk China dan negara-negara lainnya. Dan secara bio-ritmik memang seharusnya terjadi secara perlahan dan gradual untuk sebuah resesi yang berkepanjangan jika dapat dikelola secara benar, prudent dan professional untuk meredam resesi berat pada masa yang akan datang dengan cara preventif yang bersifat  “Zero Problem  and Zero Cost” agar pertumbuhan ekonomi memberikan Value Added yang tinggi.

Peluang, Risiko, Perubahan dan Ketidakpastian dalam Dinamika Ekonomi Bisnis

Oleh : Edmond F. La'lang (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)

         Di dalam istilah pasar finansil terdapat sifat manusia dalam menghadapi risiko yang akan timbul dalam setiap aktifitas kehidupannya yaitu Risk Averse, orang yang selalu menghindari risiko dan Risk Taker, orang yang senang menghadapi risiko dan orang yang berhati-hati dalam menghadapi risiko. Di dalam dunia bisnis, setiap upaya mempunyai risiko (ancaman) dan peluang untuk berkembang dan maju yang tergantung kepada jumlah modal, jumlah kredit, mutu SDM, penguasaan teknologi produksi dan informasi, peluang dan pangsa pasar, strategi bisnis yang tepat, kondisi ekonomi dan regulasi negara tempat berbisnis, negara tujuan ekspor, tingkat persaingan, kemampuan CEO dan manajemen, penguasaan teknologi industri, teknologi informasi dan komunikasi dan banyak faktor lainnya, termasuk budaya, sosial dan lingkungan hidup (kondisi alam dan iklim). Faktor-faktor ini semestinya dimasukkan sebagai variable dari kreativitas dan semangat manusia yang akan selalu ingin maju melakukan terobosan, innovasi dan penciptaan produk baru, sehingga akan selalu terjadilah berbagai perubahan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam sektor konsumsi dan pencapaian prestasi manusia. Hal inilah yang menimbulkan mitos bahwa satu-satunya yang pasti adalah perubahan dan ketidakpastian itu sendiri. Sebenarnya perubahan itu dikendalikan oleh needs and wants individu dari Piramida Maslow untuk mencapai suatu  aktualisasi diri yang optimal dari individu, perusahaan, kelompok masyarakat, Negara dan aliansi Negara seperti AFTA, NAFTA, APEC, CAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa dan banyak lagi aliansi sesuai kepentingannya masing-masing untuk menjadi suatu kemajuan yang akan mewujudkan suatu dinamika peradaban manusia. Berbagai kebutuhan ini akan diterjemahkan oleh produsen untuk memenuhi kebutuhan dan selera konsumennya yang bersifat "Product Driven". Dan juga ada produsen membuat sebuah produk masa depan untuk mengarahkan dan melebihi harapan dari needs and wants konsumen dengan berbagai kreatifitas, innovasi dan terobosan terhadap daya guna dan hasil guna produknya yang belum pernah diproduksi sebagai sebuah lompatan teknologi yang lebih berguna di masa depan dan dikenal sebagai "Product Driving" yang telah banyak dilakukan terutama di sektor industri elektronik dan teknologi informasi.

        Dengan demikian, setiap bentuk bisnis akan selalu memperhitungkan semua potensi diri sesuai analisa SWOT dalam sebuah criteria organisasi dari Boston Consulting Group dalam dunia penuh tantangan dan persaingan sehat dan fair, baik dengan Comparative maupun Competitive Advantage (Porter, 1992). Oleh makin berkembangnya dunia ini, baik dari kemajuan ekonomi-bisnis, innovasi teknologi, informasi dan komunikasi serta kemajuan manusia dari segi pendidikan, status sosial dan kesejahteraan, maka akan selalu tercipta peluang dan tantangan bisnis lokal, nasional, regional dan global untuk dimanfaatkan dengan melihat kondisi SWOT dan TOWS (Kertajaya dan Kottler, 2001) dari setiap entitas bisnis. Dengan makin banyak dan ragam dari bisnis ini di dunia akan memberikan suatu aktifitas ekonomi dalam organisasi yang makin besar, kompleks dan jaringan global. Semua ini akan melibatkan berbagai sumberdaya finansil, SDM, SDA, rekayasa teknologi dan asset fisik buatan manusia yang membentuk sebuah dunia yang terus berubah dan berkembang pesat secara dinamis. Inilah yang dikatakan sebagai Bio-Cycle atau Circle of Life (Siklus atau Lingkaran Kehidupan) dari kebudayaan manusia sebagai mahluk biologis, berotak cerdas, bermental psikologis dan berdimensi sosial dalam segala bentuknya untuk mencapai jati diri manusia seperti yang digambarkan dalam Piramida Maslow dengan cara bekerja keras, berkreasi dan innovative. Dari berbagai bentuk pertumbuhan dinamis menuju kesejahteraan (prosperity), tentunya secara hukum alam akan selalu mengalami suatu kenaikan, gejolak, turbulensi, pasang surut, alunan dan fluktuasi layaknya pergantian siang dan malam serta naik turunnya kondisi medan datar hingga bergunung. Hal ini akan mengikuti hukum alam dalam bentuk rotasi bumi dan pergerakan elips bumi ke matahari yang membentuk musim kemarau dan hujan di daerah tropis dan musim semi (spring), musim panas (summer), musim gugur (fall) dan musim dingin (winter) di subtropis dan kutub. Dan adanya gaya gravitasi bumi, pertumbuhan biologis dan lingkungan hidup yang akan menghasilkan suatu rangkaian siklus hidup manusia di dalam ruangnya menurut perjalanan waktu yang akan bergantung kepada kemampuan dari manusia untuk beradaptasi dan berkonsolidasi untuk bertumbuh pesat (tubuh dan organisasinya). Bio-cycle ini berbentuk kebangkitan (improvement and recovery) hingga ke puncak (peak) yang akan mengalami suatu penguatan diri (self reinforcing) yang akan selalu mengikuti hukum kenaikan yang makin berkurang (The Law of Deminishing Return) untuk menurun kembali (recession).  Pada fase penurunan inilah yang sering dikatakan sebagai suatu risiko yang menimbulkan banyak kerugian, kegagalan, kebangkrutan dan berbagai korban materi lainnya.  Seringkali pada puncaknya (peak) manusia akan berupaya semaksimal mungkin untuk naik terus yang cenderung melawan hukum alam dengan melakukan berbagai cara, termasuk menghabiskan dan merusak sumber daya alam, akan tetapi hukum alam tetap unggul dan akan berakibat fatal berupa suatu kondisi kejatuhan (catastroph).  Jika manusia bersaha untuk tumbuh makin tinggi, maka makin besar juga hukum alam gravitasi akan membuatnya jatuh bebas (free fall) yang memakan banyak korban harta, asset dan jiwa dalam bentuk krisis ekonomi, bencana alam, penyakit, kemiskinan dan bencana sosial dan politik. Jadi manusia janganlah selalu berusaha melawan hukum alam dengan bertindak semena-mena terhadap alam, mengeruk habis sumberdaya alam non renewable dan renewable resources, keserakahan di bidang finansil dan perbankan serta penindasan dan exploitasi terhadap sesamanya manusia. Hal ini akan membentuk sebuah krisis besar, seperti yang dunia alami pada krisis ekonomi subprime mortgages di USA dengan akibat yang bersifat snowballing ke seluruh dunia dan berdampak sistemik di negara-negara maju yang membeli subprime mortgages beserta derivatifnya serta credit default swap dalam berbagai tingkatan.

           Kondisi siklus, termasuk di bidang ekonomi dan bisnis yang akan membentuk suatu ketidakpastian (uncertainty) akibat dari perubahan budaya manusia dalam interaksinya dengan alam dan sesamanya manusia untuk  bertumbuh  dan  maju  di bidang ekonomi-bisnis, politik, sosial, budaya, lingkungan hidup di berbagai negara. Dari sini manusia dengan segala kemampuannya melakukan  introspeksi berupa Learning by Doing dengan Learning Curvenya untuk melakukan perbaikan – perbaikan (improvement), padahal sebenarnya yang juga perlu dilakukan adalah Learning by Time dengan Time Curve (Timing and Momentum) dalam arti belajar dari sejarah, kekinian dan waktu yang akan datang (visi, intuisi, indera VI, prediksi). Hal inilah yang sering dikeluhkan pebisnis dan ekonom, khususnya bahwa ada ketidakpastian dari fluktuasi nilai mata uang maupun kondisi bisnis secara umum untuk menentukan strategi target pertumbuhan, persaingan, pangsa pasar, potensi laba dan rugi, pembiayaan, fluktuasi tingkat harga bahan baku dan penolongnya.  
          
            Sebenarnya jika ditinjau dari aspek biologis berdimensi ke 3, semua kondisi siklus akibat perubahan tersebut dapat diantisipasi dan diramalkan alunannya dengan tepat, layaknya kita melakukan surfing (berselancar di pantai) atau hiking (naik ke perbukitan) dengan baik dan bukannya naik roller coaster tanpa mampu berbuat sesuatu untuk menghindari kondisi gejolak (turbulencies). Itulah siklus alami sebagai hasil kinerja manusia yang dipengaruhi oleh hukum Tuhan (supernatural), hukum alam (biologis, biokimia dan biofisika) dan gaya gravitasi (fisika).  Sistim biologis dapat mengetahui dengan pergerakan ruang dan waktu secara akurat (memakai rumusan perhitungan berdimensi 2 – 3) dari kinerja siklus tersebut, kapan akan naik, kapan ada di puncak dan kapan harus turun kembali secara alamiah dan berirama (Bio-Ritmik).  Jadi kita tidak perlu melawan hukum alam itu sendri, tetapi sebaiknya kita nikmati saja warisan alam ini secara bijaksana sebagai karunia Tuhan Pencipta atau menurut kata Gde Prama, sebaiknya manusia bagaikan sebuah sungai yang mengalir dari hulu sampai ke hilir dan bermuara ke laut dengan damai tanpa harus menggerutu dan membandel. Jadi ketidakpastian (risiko) itu sendiri adalah karena manusia tidak mau melihat dunia dan alam ini secara lebih baik dan benar, karena sifat manusia yang ambisius, tak terkontrol dan keserakahan untuk terus naik menjadi lebih kaya, hebat dan popular, tetapi apalah daya kemampuan manusia hanya terbatas (bagai pungguk merindukan bulan, apa daya tangan tak sampai), maka hukum alam gravitasi akan mendorongnya kea rah bawah. Makin kuat self reinforcing, maka makin kuat dan keras daya jatuhnya.  Untuk  itulah manusia perlu mempelajari dan mengadopsi berbagai hukum alam dari sistim biologis, biokimia dan biofisika terhadap Carrying Capacity (Daya Tampung Alam), The Law of Deminishing Return, dan berbagai hukum alam lainnya, disamping hukum dan aturan main (regulasi) yang dibuat oleh manusia (negara dan organisasi) untuk dipatuhi oleh manusia sebagai pelaku ekonomi, bisnis, sosial dan politik.

        Carrying Capacity merupakan suatu kendala daya dukung dan daya tampung terhadap berbagai kegiatan alam (natural bio-cycle) dan manusia (ekonomi, bisnis, sosial dan politik) yang saling berinteraksi yang akhirnya akan menghasilkan kondisi kejenuhan (saturated) di lingkungan alam, termasuk di kegiatan ekonomi-bisnis. Carrying capacity akan selalu menimbulkan kondisi bottleneck dan crowded yang mendorong manusia untuk melakukan suatu penguatan diri (self reinforcing). Manusia hanya melihat dan melakukan visi dari sisi dirinya sendiri yang bersifat layaknya si pungguk, katak dalam tempurung, berpikir sempit dan egois, sehingga tak mampu dan mengerti akan kekuasaan alam semesta raya (supernatural) dan alam dunia (natural)  yang akan membentuk alunan, fluktuasi dan gejolak sebagai wujud dari bio-ritmik manusia. Bio-ritmik ini akan membentuk dan mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis manusia dalam bertumbuh, berprestasi, bersaing, berinovasi. Kekuasaan dan kekuatan supernatural dan naturallah sebagai hirakhi dalam jajaran kekuasaan duniawi ini yang akan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, dimana kita hanyalah menjalanilah secara benar sesuai ajaran kebenaran Tuhan menurut agamanya masing-masing. Tuhan telah menciptakan dunia ini beserta sistim alam untuk dipahami dan dipatuhi. Manusia hendaknya tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dari sistim buatannya sendiri dalam bentuk kemajuan ekonomi, kehebatan teknologi industri dan kekuatan senjatanya yang suatu saat akan jatuh dan malahan akan runtuh oleh kekuasaan supernatural dan natural.  Dunia manusia adalah bawahan saja dalam kekuatan dan kekuasaan manusiawi dalam bentuk organisasi-organisasi negara, agama, bisnis, sosial, dan politik untuk dijalankan secara bijak, adil dan merata. Jadi menurut hukum biologis bahwa alunan dan fluktuasi adalah justru suatu Kepastian (Certainty)” dalam pengertian pasti ada saat naik dan pasti ada saat turun untuk dinikmati dan diantispasi dalam bentuk pencegahan atau tidak melanggar aturan alam serta memperbaiki sesuai analisa SWOT dan TOWS dari kondisi ekonomi – bisnis (external) dan kondisi perusahaannya sendiri (internal) dan selalu mengikuti alunan bioritmik alamiah, sehingga akan selalu terhindar dari krisis dan bencana (preventive ways) dan bukan lagi problem solving setelah terjadi krisis dan bencana yang pasti telah menimbulkan dampak risiko dengan kerugian yang sangat besar.
http://bioekonomi-lingkungan.blogspot.com