Sunday 3 April 2011

Implikasi Tsunami Finansil dari Sub-prime Mortgages sebagai Pemicu Resesi Dunia

Oleh : Edmond F. La’lang  (pemerhati ekonomi dan lingkungan hidup)

           Sebuah renungan bagi ekonomi-bisnis global, termasuk di bursa saham, forex dan komoditi untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Don’t climb the mountain (with high speculation and greedy) but hike the hill (with good and strong fundamental aspects) agar tak terulang lagi bencana krisis ekonomi multidimensi Indonesia (1997-1998) dan krisis finansil sub-prime mortgages dengan efek domino ke ekonomi global.

* Efek Domino dan Kesalahan Manajemen Risiko yang Unprudential
            Tahun 2007 adalah tahun terjadinya gejolak ekonomi dunia yang disebabkan oleh “krisis subprime mortgages” pada sektor properti dari golongan menengah ke bawah di Negara AS yang banyak mengalami gagal bayar kredit propertinya. Selanjutnya menyebar ke sektor finansil, khususnya investment banking berskala internasional yang membeli asset subprime mortgages tadi serta menderivatifkan hingga 10 tingkatan dan menurut kami mirip bisnis Multi Level Marketing dengan jaringan yang berjenjang dan dipasarkan ke seluruh dunia, khususnya di Eropa, Jepang, Korsel dan Negara lainnya. Dengan defaultnya debitur subprime ini, maka telah menimbulkan kerugian maha raksasa di derivatif sekitar USD 15,4 Trilyun yang telah dialami oleh banyak institusi investment banking, sekuritas, perbankan, asuransi, hedge fund serta investor ritel di seluruh dunia. Krisis ini telah banyak membangkrutkan perusahaan properti, khususnya Fannie Mae dan Freddie Mac, serta kerugian sangat besar pada Citigroup, Credit Suisse, Morgan Stanley, AIG serta banyak lagi perusahaan finansil raksasa AS. Puncak turbulensi dan gejolak krisis subprime ini terjadi pada Juli 2008 dengan tumbangnya Lehman Brothers Inc., yang berasset sekitar USD 640 Milyar telah mengalami kerugian maha besar, karena misalokasi dana kelolaannya tanpa manajemen risiko dan prudential banking yang baik, dimana justru sebagian besar dananya di subprime mortgages dan tingkatan derivatifnya.  
Lehman telah melupakan prinsip “don’t put your eggs in one basket” yang sangat urgent pada pengelolaan bisnis yang berisiko tinggi.
         Banyak pengamat dan pakar ekonomi yang mengatakan bahwa kalangan Wall Street, termasuk CEO Lehman Brothers telah lalai, bodoh dan serakah dalam menjalankan bisnis finansilnya tanpa manajemen professional. Efek dari krisis subprime ini mulai menyebar ke bursa saham dunia, termasuk Dow Jones (DJIA) yang telah mencapai puncaknya di bulan April 2007 pada 14.425 point dan menyeret seluruh bursa saham dunia dengan koreksi lebih dari 50 % dan tentunya akan terus melemah menuju titik awal kebangkitan DJIA pada tahun 1992 yang berada pada titik 4.250an (awal era Presiden Bill Clinton) bahkan dapat mencapai level 2.000 – 3.000 jika menuju deflasi parah dan Obama tak mampu memberikan pemulihan ekonomi se-cara sehat dan sustainable yang hanya melakukan berbagai kebijakan ekonomi makro yang konservatif dan linier, demikian juga dengan nasib index Nasdaq, dan S&P 500 (AS), Nikkei 225 (Jepang), Hangseng (Hongkong), Shanghai (RRC), FTSE (Inggris), Xetra Dax (Jerman), CAC (Perancis), termasuk IHSG BEI (Indonesia) yang telah ter-koreksi hingga 1.110 (awal Nopember 2008). Kepanikan di bursa saham dunia ini turut memperparah kerugian sektor finansil dunia sekitar USD 20,55 Trilyun serta di IHSG (Indonesia) telah menguap dana bursa (capital outflow) sekitar Rp. 850 Trilyun.
         Dengan longsornya bursa saham dunia, khususnya di AS selain kerugian besar yang dialami oleh banyak perusahaan finansil, perbankan dan asuransi, juga menyebabkan kerugian besar bagi investor ritel, dimana di AS sebagian besar masyarakat AS, termasuk para pensiunan menaruh dananya di bursa saham. Kerugian ini akan menambah makin banyaknya rakyat miskin dengan daya beli yang menurun pula, sehingga dengan cepat merembet ke sektor riil, karena penurunan yang tajam dari konsumsi masyarakat AS. Dengan penurunan ini pula, berarti ekspor negara maju dan berkembang ke AS otomatis juga akan anjlok tajam dan memicu efek domino yang berpotensi menjadi resesi dan deflasi global yang parah.  

No comments:

Post a Comment